Jumanji: Welcome to the Jungle membuat sensasi fenomenal dengan raihan box-office global lebih dari US$ 850 juta. Sebelum rilisnya, tidak ada seorang pun yang berekspektasi film berbujet US$ 90 juta ini bisa sesukses luar biasa ini. Seri pertamanya, Jumanji (1995) yang berbujet US$ 65 juta (kala itu angka yang sangat besar), sukses meraih US$ 262,8 juta dalam rilis globalnya. Bukan angka yang kecil memang, namun jelas tidak sebanding dengan sukses film sekuelnya. Film sekuelnya ini diluar dugaan mampu memuncaki tangga box-office selama beberapa minggu, bahkan sempat melewati Star Wars: The Last Jedi pada rilis minggu awal dan pertengahan awal Januari lalu. Kini, bahkan secara global Jumanji telah melewati angka raihan film-film superhero populer sukses tahun lalu, seperti Wonder Woman, Thor: Ragnarok, Guardians of Galaxy Vol.2, dan hanya sejengkal lagi untuk bisa melewati Spiderman: Homecoming (US$ 880 juta). Di Indonesia sendiri, film ini juga amat sukses meraih angka hampir US$ 13 juta (boxofficemojo.com) atau lebih dari 5 juta penonton. Bahkan sang bintang sendiri, Dwayne Johnson, secara khusus menyapa dan berterimakasih pada penonton Indonesia melalui akun sosial medianya.

    Tak heran, sukses besar film ini serta merta membuat empat bintang utamanya, Dwayne Johnson, Kevin Hart, Jack Black, dan Karen Gillan telah meneken kontrak untuk film sekuelnya, yang konon berkisah tentang awal muasal permainan ini. Sang sineas, Jake Kasdan juga dikabarkan masih menyutradarai film sekuelnya. Sebenarnya apa yang menjadi faktor sukses Jumanji: Welcome to the Jungle, apakah seri pertamanya, bintang, aksi, efek visual, atau sisi komedinya? Bisa jadi kombinasi semuanya. Berikut analisa kecil, faktor-faktor yang membuat film ini sukses secara global melebihi ekspektasi siapapun.

  1. Unsur Komedi

    Kunci sukses film komedi adalah banyolan yang menghibur, dan Jumanji berhasil menyajikan sisi ini secara segar dan menghibur baik dari konsep, aksi, maupun dialognya. Konsep permainan dalam film ini tergolong unik, karena para pemain aslinya bermain menjadi avatar dalam permainan game-nya. Tentu saja ini amat menarik karena perbedaan karakter pemain asli dengan tokoh avatarnya. Keempat tokohnya, bermain sebagai empat karakter permainan yang kontras dengan aslinya. Spencer yang seorang “nerd” menjadi karakter Dr. Bravestone yang besar dan fisik yang kuat. Sementara Fridge yang besar dan gagah berubah menjadi sosok yang kecil dan cerewet melalui tokoh Franklin Finbar. Tentu yang mencolok adalah Bethany yang menjadi sosok Prof. Sheldon. Keempat sosok avatar ini menjadi berkating tak wajar dalam dunia Jumanji, dan ini yang menjadi pemicu faktor kelucuan sepanjang filmnya. Belum lagi, dialog-dialog konyol yang terlontar dari mulut si cerewet Finbar nyaris sepanjang filmnya. Konsep game-nya juga membuat unsur komedi menjadi lebih segar. Adegan-adegan biasa, seperti Sheldon yang dimakan kuda nil besar serta Finbar yang meledak karena makan kue menjadi kelucuan luar biasa, karena konsep game-nya. Sisi komedi yang segar dan konyol inilah yang menjadi faktor utama Jumanji mampu menjadi film yang amat menghibur penontonnya.

Baca Juga  Sosok Hantu dan Ilmu Hitam dalam Film Horor Indonesia

2. Daya Tarik Bintang

    Tak diragukan, Dwayne Johnson adalah salah satu aktor tersukses dan tersibuk di dunia saat ini. Nyaris semua filmnya laris secara domestik maupun global. Dalam dua dekade terakhir, Johnson terlibat dalam film-film sukses komersial, seperti The Mummy Returns, G.I. Joe: Retaliation, Hercules, San Andreas, dan tentu saja seri Fast and Furious. Hanya nama Johnson sendiri sudah menjadikan separuh sukses filmnya. Walau Johnson bermain dalam peran tipikalnya, namun tetap saja penonton tidak peduli dengan ini. Belum lagi komedian Kevin Hart serta Jack Black yang sudah sangat akrab di medium film. Kombinasi ketiga bintang ini mampu menghadirkan hiburan maksimal bagi penonton.

3. Nostalgia “Jumanji”

    Kabarnya, setelah diumumkan pihak Sony Pictures pada tahun 2015, proyek ini telah menuai banyak kritik dari sosial media karena dianggap tidak menghormati sang bintang, Robin Williams, yang meninggal pada bulan Agustus 2014. Beberapa pengamat juga bahkan menganggap film ini tidak perlu diproduksi karena jaraknya dengan seri pertamanya yang sangat jauh. Jumanji (1995) sejak rilisnya telah memiliki status “klasik” dengan jutaan penggemarnya karena konsep filmnya yang segar dengan mengkombinasikan unsur misteri, thriller, fantasi, aksi, komedi, serta tentu daya tarik Robin Williams yang kala itu memang adalah bintang besar. Walau berbeda konsep dengan sekuelnya, rupanya para fans Jumanji yang rilis lebih dari dua dekade lalu masih tertarik dan penasaran untuk datang ke bioskop. Film ini sendiri juga nyatanya memberi tribute pada tokoh Alan Parrish yang diperankan Williams dalam satu adegannya.

4. Waktu Rilis Bioskop

    Pada waktu rilisnya, Jumanji rupanya tidak takut untuk bersaing dengan film raksasa Star Wars: The Last Jedi. Strategi rilis ini rupanya membuahkan hasil maksimal karena di saat yang sama, film untuk sasaran keluarga (segala usia) amat minim. Pada saat bersamaan, rilis film-film drama serius kontender Oscar mulai bermunculan. Film animasi anak-anak, Ferdinand, yang relatif berdekatan rilisnya juga tidak memberikan pengaruh berarti, sementara animasi sukses, Coco telah jauh rilis beberapa minggu sebelumnya. Intinya, pada saat rilisnya, film menghibur untuk segala usia hanya Jumanji yang hadir di tengah penonton. Alhasil, pada masa liburan kemarin, Jumanji hadir sebagai film alternatif yang sempurna bagi keluarga.

    Tentu masih banyak faktor lainnya yang menjadi penyebab sukses Jumanji: Welcome to the Jungle. Satu hal pasti adalah seri ini sudah menjadi franchise besar yang bakal ditunggu penontonnya. Walau seri ketiga rasanya sulit mencapai sukses fenomenal saat ini, namun dijamin filmnya pasti bakal laku keras.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaFilm “Ford vs Ferrari”
Artikel BerikutnyaBunda: Kisah Cinta 2 Kodi
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.